"Dan apabila mereka mendengar apa yang diturunkan kepada Rasul (Muhammad), kamu lihat mata mereka bercucuran air mata disebabkan kebenaran al-Quran yang telah mereka ketahui, seraya mereka berkata, ‘Ya Tuhan kami, kami telah beriman maka catatkanlah kami bersama orang-orang yang menjadi saksi atas kebenaran al-Quran dan kenabian Muhammad." (QS. al-Ma’idah:83)
Subhanalloh atas nikmat iman serta islam yang selalu dilimpahkan Alloh swt kepada keluarga kajian dimanapun berada. Islam itu memiliki keindahan yang salah satunya terletak pada peraturan-peraturan yang menjadikan manusia menjadi lebih terhormat dan lebih baik dari hari kehari. Keseluruhan peraturannya itu tak terlepas dari tuntunan yang telah Alloh swt berikan yaitu Al-Qur’an dan Sunnah Rasulullah saw. Kedua pegangan itulah yang akan membawa kita pada cintaNya untuk menjadikan dunia ini sebagai jembatan menuju akhiratNya.
Keluarga kajian yang dirahmati Alloh Swt, tidak dapat kita pungkiri bahwa setiap hari ketika menjalani aktivitas kita berinteraksi dengan orang lain dan dalam interaksi tersebut ada kalanya kita berkunjung atau dikunjungi oleh dan ke teman atau keluarga atau saudara kita lainnya. Interaksi saling berkunjung dan sering disebut bertamu juga diajarkan dalam Al-Qur’an dan dapat kita contoh dari kisah Abu Dhifan yang tertulis dalam surat Huud, al-Hijr dan surat Adzaariyat.
“Sesungguhnya pada kisah-kisah mereka itu terdapat pelajaran bagi orang-orang yang mempunyai akal. Al-Qur’an itu bukanlah cerita yang dibuat-buat, akan tetapi membenarkan (kitab-kitab) yang sebelumnya dan menjelaskan segala sesuatu, sebagai petunjuk dan rahmat bagi orang yang beriman."(Q.S Yusuf :111)
Dan dalam firman Alloh swt yang lain :
“Dan semua kisah dari rasul-rasul yang kami ceritakan kepadamu, ialah kisah-kisah yang dengannya kami teguhkan hatimu; dalam surat ini telah datang kepadamu kebenaran serta pelajaran dan peringatan bagi orang-orang yang beriman.” (Q.S Huud : 120)
Siapakah Abu Dhifan? Dan kenapa Abu Dhifan?
Melalui Al-Qur’an, Alloh swt mengisahkan salah satu kekasihNya (kholilullah) ini, abu dhifan. Dari beliau kita belajar keteguhan, kepatuhan dan ketaatan untuk segera melaksanakan segala yang Alloh swt perintahkan kepada beliau. Beliau adalah ayah para nabi, kisah ketauhidannya patut menjadi tauladan bagi kita. Keteguhannya mencintai Alloh dikisahkan dengan kisah penuh hikmah dan banyaknya ujian kesabaran yang beliau alami beliau masuk kedalam golongan ulul azmi.
Abu dhifan atau bapak para tamu adalah gelar yang diberikan kepada nabi Ibrahim ‘alaihissalam. Perilaku beliau yang dikisahkan dalam Al-Qur’an Surat Huud (69-73),al-Hijr (51-55) dan Adzaariyat (24-28), merupakan tauladan terbaik untuk kita contoh dalam memuliakan tamu.
Syaikh as-Sa di rahimahullah berkata,
“Ibrahim ‘alaihissalam adalah sebaik-baiknya para nabi setelah nabi Muhammad Saw, yang telah Alloh Ta’ala jadikan kenabian pada anak keturunanannya dan kepada mereka diturunkan kitab-kitab suci. (Fathul Qadir, Muhammad bin Ali Asy-Saukani, Darul Fikr, 1414 H dalam Majalah Assunnah).
Bagaimana Abu Dhifan Memuliakan Tamu?
Sudahkah sampai kepadamu (Muhammad) cerita tentang tamu Ibrahim (yaitu malaikat-malaikat) yang dimuliakan?. (Ingatlah) ketika mereka masuk ke tempatnya lalu mengucapkan: “Salaamun.” Ibrahim menjawab: “Salaamun (kamu) adalah orang-orang yang tidak dikenal.”Maka dia pergi dengan diam-diam menemui keluarganya, kemudian dibawanya daging anak sapi gemuk. Lalu dihidangkannya kepada mereka. Ibrahim lalu berkata: “Silahkan anda makan.” (Tetapi mereka tidak mau makan), karena itu Ibrahim merasa takut terhadap mereka. Mereka berkata: “Janganlah kamu takut”, dan mereka memberi kabar gembira kepadanya dengan (kelahiran) seorang anak yang alim (Ishak).(Q.S Adzaariyat 24-28).
Dalam Ayat tersebut Alloh Swt mengisahkan tentang Nabi Ibrahim a.s yang dikunjungi oleh malaikat mulia untuk menyampaikan berita gembira bahwa beliau akan mendapat seorang anak laki-laki yang alim dan saleh bernama Ishak dari istrinya Siti Sarah yang sudah lanjut usia dan menyangka dirinya tidak dapat memiliki anak. Setibanya di rumah Nabi Ibrahim, mereka disambut oleh tuan rumah dengan penuh penghormatan. Diriwayatkan dari Ata’ bahwa malaikat-malaikat itu terdiri dari Jibril, Mikail dan Israil a.s.
Ketika tamu para malaikat itu masuk ke tempat Nabi Ibrahim as lalu menyampaikan ucapan “salam” dan Nabi Ibrahim menjawab dengan salam pula, beliau memperlihatkan sikap bertanya karena belum mengenal mereka. Tamu-tamu terhormat itu baru pertama kali masuk ke rumah Nabi Ibrahim as. Oleh karena itu, beliau memperlihatkan sikap ingin mengenal dahulu. Tetapi beliau tidak menunggu kesempatan untuk berkenalan itu, bahkan secara diam-diam masuk ke dapur untuk menyiapkan hidangan. Kemudian Nabi Ibrahim dengan diam-diam pergi menemui keluarganya yaitu Siti Sarah, lalu menyembelih seekor anak sapi yang gemuk dan setelah dibakar, hidangan itu dibawanya sendiri ke hadapan tamu-tamunya seraya berkata dengan hormat, lalu mempersilakan mereka makan.
Karena para tamu tidak mau menyentuh makanan lezat yang dihidangkan itu, maka Nabi Ibrahim a.s. merasa curiga atas niat baik mereka. Salah satu kebiasaan di kalangan orang Arab bila tamu tidak makan makanan yang dihidangkan itu adalah suatu tanda tamunya bermaksud jahat terhadapnya. Berbagai macam perasaan seperti curiga, takut dan lain sebagainya telah timbul dari hati Nabi Ibrahim a.s. dan istrinya, melihat sikap tamu-tamunya itu. Hal ini jelas tampak pada air mukanya yang tadinya berseri-seri, lantas berubah menjadi pucat pasti. Akhirnya para malaikat itu menjelaskan bahwa mereka adalah malaikat yang diutus Allah kepada kaum Luth untuk membinasakan mereka karena mereka adalah kaum yang terkutuk yang tidak mengindahkan peringatan Allah supaya mereka meninggalkan perbuatan maksiat dan terkutuk dan beriman kepada Allah swt.
Setelah malaikat-malaikat menenteramkan hati Nabi Ibrahim, mereka menyampaikan pula kabar gembira bahwa Ibrahim akan mendapat anak laki-laki yang bernama Ishak dan di belakang Ishak ada lagi cucunya yaitu Nabi Yakub seperti diterangkan dalam ayat lain.
Beberapa perilaku yang dapat ditauladani dari kisah Nabi Ibrahim dalam memuliakan tamu yang dikisahkan dalam Al-qur’an adalah
· - Menyambut dengan baik meski tidak dikenal
· - Bersegera mencari jamuan makan dan menyiapkan yang terbaik
· - Menghidangkan sendiri
· - Menawarkan dengan baik dengan mempersilakannya.
Demikianlah kisah Abu Dhifan yang dapat kita teladani dalam memuliakan tamu dan menyajikan terbaik yang dimilikinya, berikut terdapat kisah ketauladanan kaum Anshar di zaman Rasululloh saw dalam hadist yang diriwayatkan Bukhari Muslim.
Seorang laki-laki datang kepada Nabi saw, dia berkata: “Sesungguhnya saya sangat kesusahan”. Nabi saw bersabda, “Siapa yang dapat menjamu tamu ini pada mala mini?”. Maka salah seorang dari kaum Anshar berkata: “Saya, wahai Rasululloh”. Lalu dia berangkat membawanya ke rumahnya. Dia berkata kepada istrinya, “Apakah kamu memiliki sesuatu?”. Dia menjawab: “Tidak kecuali makanan anak-anak kita”. Dia berkata, Hiburlah mereka dengan sesuatu dan jika mereka hendak makan malam maka tidurkanlah mereka, dan pabila tamu kita masuk maka padamkanlah lampunya, dan perlihatkanlah seolah-olah kita ikut makan”. Kemudian mereka duduk dan tamu itu makan sementara shabat dan istrinya semalaman dalam keadaan lapar. Maka ketiga pagi tiba sahabat itu pergi menemui Nabi saw, beliau lalu bersabda, “Sungguh Alloh Telah Kagum pada perbuatan kalian dalam menjamu tamu semalaman” (HR. Muslim).
Memuliakan Tamu merupakan sebagian dari Iman, oleh karena itu siapa pun yang tak dikenal dan ia datang kerumahmu perlakukanlah ia dengan baik karena Islam mengajarkan untuk bersikap baik dan berhusnudzon. Selamat meneladani Abul anbiya dan hikmah kisah kaum anshar di zaman Rasululloh saw, Alloh menyukai setiap niat baik yang ditujukan untuk mendekat padaNya.
Maraji’ :
-Tafsir Al-Qur’an Terbitan Kementrian Agama Indonesia
- Majalah Assunah online
- Kitab Minhajul Muslimin (Esiklopedi muslim)
Sumber: http://radiopengajian.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar