Nikmat agama merupakan karunia terbesar dari Allah kepada hamba-Nya. Tidak diberikan kecuali kepada siapa yang dicintai oleh-Nya. Berbeda dengan dunia, diberikan kepada siapa yang mendapat cinta Allah dan murka-Nya. Karena dunia bukan ukuran baik atau buruknya seseorang di sisi Allah Ta'ala.
Bentuk nikmat agama adalah iman kepada Allah Ta'ala. Diberikan kepada hamba-Nya laksana rizki. Satu dan yang lainnya berbeda. Ada yang banyak dan ada yang sedikit. Yang lebih banyak mendapat karunia ini lebih baik daripada yang lebih sedikit. Siapa yang kuat imannya ia lebih baik dan lebih dicintai oleh Rabb-nya daripada yang lemah. Namun, yang lemah tidak boleh diremehkan karena ia masih memiliki iman. Karena selama manusia masih memiliki iman ia berada dalam lingkup kebaikan.
Bertambahnya iman harus diusahan, yakni dengan menjalankan ketaatan. Sebaliknya lemahnya iman harus dihindarkan, yakni dengan meninggalkan kemaksiatan. Karena iman bisa bertambah dan berkurang. Bertambah dengan ketaatan sehingga ia akan kuat. Berkurang dengan sebab kemaksiatan sehingga ia melemah. Sedangkan iman menjadi ukuran seseorang mulia atau tercela.
Diriwayatkan dari Abu Hurairah Radhiyallahu 'Anhu, Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wasallam bersabda,
الْمُؤْمِنُ الْقَوِىُّ خَيْرٌ وَأَحَبُّ إِلَى اللَّهِ مِنَ الْمُؤْمِنِ الضَّعِيفِ وَفِى كُلٍّ خَيْرٌ احْرِصْ عَلَى مَا يَنْفَعُكَ وَاسْتَعِنْ بِاللَّهِ وَلاَ تَعْجِزْ وَإِنْ أَصَابَكَ شَىْءٌ فَلاَ تَقُلْ لَوْ أَنِّى فَعَلْتُ كَانَ كَذَا وَكَذَا. وَلَكِنْ قُلْ قَدَرُ اللَّهِ وَمَا شَاءَ فَعَلَ فَإِنَّ لَوْ تَفْتَحُ عَمَلَ الشَّيْطَانِ
"Mukmin yang kuat lebih baik dan lebih dicintai oleh Allah daripada mukmin yang lemah. Namun masing-masing ada kebaikan. Semangatlah meraih apa yang manfaat untukmu dan mohonlah pertolongan kepada Allah, dan jangan bersikap lemah. Jika engkau tertimpa suatu musibah janganlah mengatakan, "Seandainya aku berbuat begini dan begitu, niscaya hasilnya akan lain." Akan tetapi katakanlah,"Allah telah mentakdirkannya, dan apa yang Dia kehendaki Dia Perbuat." Sebab, mengandai-andai itu membuka pintu setan." (HR. Muslim)
Maksud mukmin kuat dalam hadits di atas adalah kuat imannya, bukan semata kuat fisik atau materi. Karena kuatnya fisik dan materi akan membahayakan diri jika digunakan untuk kemaksiatan kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala.
Pada dasarnya, kuatnya fisik dan materi bukan sebagai pijakan mulia atau tercela. Hanya saja, jika keduanya digunakan untuk kemanfaatan di dunia dan akhirat, ia menjadi terpuji. Sebaliknya, jika digunakan untuk kemaksiatan terhadap Allah, ia menjadi tercela.
Kuat dalam hadits di atas mencakup kuat fisik, jiwa, dan materi. Kemudian semua itu diikat dengan iman kepada Allah Ta'ala, ridha dan menerima qadha' dan qadar. Sehingga mukmin yang kuat dalam hadits di atas, adalah mukmin yang kuat tekad dan semangatnya –khususnya dalam urusan akhirat- sehingga ia lebih banyak maju melawan musuh dalam jihad, lebih semangat keluar dan pergi menyambut jihad, lebih semangat dalam melakukan amar ma'ruf dan nahi munkar, dan bersabar atas ujian di dalamnya. Kuatnya di sini mencakup kuatnya kerinduan terhadap Allah Ta'ala dan menjalankan tuntutannya berupa shalat, puasa, zikir, infak, shadaqah, dan ibadah-ibadah lainnya; lebih aktif mencari dan menjaganya.
. . . Kuat dalam hadits di atas mencakup kuat fisik, jiwa, dan materi. Kemudian semua itu diikat dengan iman kepada Allah Ta'ala, ridha dan menerima qadha' dan qadar. . .
Sedangkan makna mukmin lemah adalah kebalikan dari semua ini. Namun tidak boleh diremehkan, sebab ia masih dalam lingkup baik karena masih ada iman dalam dirinya.
Kemudian Nabi Shallallahu 'Alaihi Wasallam memerintahkan setiap mukmin, baik yang kuat maupun yang lemah, untuk bersemangat dalam mencari apa yang manfaat untuk dirinya dari urusan dunia dan akhiratnya. Namun tidak boleh lupa terhadap kuasa Allah dengan senantiasa meminta pertolongan kepada-Nya dalam menjalankan usaha tersebut. "Semangatlah meraih apa yang manfaat untukmu dan mohonlah pertolongan kepada Allah, dan jangan bersikap lemah."
Syaikh Abdurrahman bin Hasan Alu Syaikh menjelaskan maksud hadits di atas, "Dan maksudnya: bersemangat dalam menjalankan sebab yang bermanfaat bagi hamba dalam urusan dunia dan akhiratnya dari sebab-sebab yang wajib, sunnah, dan mubah yang telah Allah syariatkan. Lalu dalam mengerjakan sebab tersebut, hamba tadi meminta tolong kepada Allah semata, tidak kepada selain-Nya, agar sebab itu menghasilkan dan memberi manfaat. Bersandarnya hanya kepada Allah Ta'ala dalam mengerjakannya. Karena Allah lah yang menciptakan sebab dan akibatnya. Suatu sebab tidak akan berguna kecuali jika Allah mengizinkannya. Sehingga hanya kepada Allah Ta'ala semata ia bertawakkal dalam mengerjakan sebab. Karena mengerjakan sebab adalah sunnah, sementara tawakkal adalah tauhid. Jika ia menggabungkan keduanya, maka akan terwujud tujuannya dengan izin Allah." (Fath al-Majid: 560)
Usaha dan isti'anah harus terus dilakukan, tidak boleh melemah karena malas, putus harapan, perkataan orang, perasaan tidak enak, mitos atau sebab yang tak jelas lainnya. Karena ada sebagian orang yang sudah bersemangat menggapai apa yang dibutuhkannya dan disyariatkan kepadanya, lalu ia melemah dan malas sehingga meninggalkan amal tersebut. Manfaat dan mashlahat yang dibutuhkannya hilang begitu saja sehingga ia menjadi manusia merugi.
Bagi seorang muslim jika melihat suatu pekerjaan yang mendatangkan manfaat dan guna untuk dirinya, hendaknya ia semangat mengerjakannya dan beristi'anah kepada Allah agar dikuatkan dan dimudahkan, lalu komitmen dan konsisten menyelesaikan pekerjaannya. Jika demikian berarti ia mengikuti wasiat Nabi Shallallahu 'Alaihi Wasallam dalam hadits ini sehingga ia terkategori sebagai mukmin yang kuat. Di samping manfaat dan mashlahat yang dibutuhkannya diperoleh, ia juga mendapatkan pahala dalam kesungguhannya tersebut.
Dikisahkan dari perjalanan hidup Imam al-Kasai, seorang ulama ahli Nahwu, saat mulai bejalar ilmu Nahwu beliau mendapati kesulitan sehingga hampir putus asa. Kemudian beliau menemukan seekor semut membawa makanan ke atas tembok. Setiap semut itu naik sedikit, ia terjatuh. Begitu berulang-ulang sehingga ia berhasil naik ke atas. Imam al-Kasai mengambil pelajaran dari semut tersebut, beliau bersungguh-sungguh dalam belajar sampai menjadi imam besar dalam ilmu Nahwu.
Penutup
Tulisan ini mengajak kepada pembaca untuk terus meninggkatkan kualitas dan kuantitas iman. Mengajak untuk menjadi hamba Allah yang kuat imannya. Yakni dengan menguatkan semangat dalam menggapai kemanfaatan duniawi dan ukhrawi, disertai isti'anah kepada Allah semata. Terus semangat, konsisten dan komitmen dalam usahanya, dan tidak melemah. Jika terjadi sesuatu yang tak sesuai harapan, ia tidak lantas ambruk dan kapok. Tidak pula mengandai-andai, jika tadi melakukan ini pasti terjadi sesuatu yang lain. Karena mengandai-andai semacam ini akan membuka pintu syetan, yakni akan menyebabkan cacian terhadap takdir, marah kepada keputusan Allah, lemah semangat, was-was, merana dan sedih. Tetapi hendaknya ia terus menjaga semangat dan keyakinanya kepada Allah dengan mengatakan, Qaddarallahu Wamaa Syaa-a Fa'ala (Allah telah mentakdirkannya, dan apa yang Dia kehendaki Dia Perbuat). Wallahu Ta'ala A'lam.
Oleh : Badrul Tamam
Sumber : http://www.voa-islam.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar